RESENSI NOVEL
DIAN
YANG TAK KUNJUNG PADAM
DAN
DIBAWAH LINDUNGAN KA’BAH
Oleh :
ZULMAIMI
EKA PUTRI
Keberuntungan yang Tak Berpihak
v Identitas
(karya sastra pertama)
Nama pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana
Judul karya : Dian yang Tak Kunjung Padam
Penerbit : Dian Rakyat
Tempat terbit : Jakarta
Jumlah BAB : XXII
Jumlah halaman : 134 halaman
v Sinopsis
Yasin, anak petani uluan, Palembang.
Ia baik, taat ibadah, dan pandai bekerja. Setelah ayahnya meninggal dunia, dia
tinggal berdua saja dengan ibundanya, di tengah hutan, di tepi sungai Lematang
. Sebagai penerus warisan ayahnya, ia sangat tekun dan rajin dalam mengurusi
kebun-kebun peninggalan ayahnya. Setiap hari ia bekerja. Kebunnya berisi para
dan pohon pisang.
Ketika itu tibalah waktu untuk
menjual hasil para. Semua para yang telah terkumpul dibawa ke kota. Perjalan
dari rumahnya untuk sampai di Palembang kurang lebih memakan waktu sekitar dua hari dua
malam. Sebelum perjalanan ibu Yasin biasanya menyiapkan segala sesuatu untuk
keperluan diperjalanan.
Setelah
sampai di Palembang, Yasin merapatkan
perahunya pada tepi sungai Musi. Sebab hari belum terang, ia menunggu sampai
hari terang, barualah ia menjual paranya ke Enambalas Ilir. Ketika itu harga
para turun rendah, sabagian petani lenih melilih tiadak menjual dulu paranya,
dan menunggu sampai harga para agak tinggi. Namun agaknya Yasin tak dapat
menuggu, sebab kebutuhannya telah menipis.
Ketika sedang asyik memandang di
sekitar sungai Musi, matanya tertuju pada sesosok yang langsung membuat hatinya
tertarik. Molek, ya, itu lah nama sesosok yang di padangnya itu. Ia gadis
bangsawan, dari keluarga kaya. Ternyata gadis itu juga mempunyai perasaan yang
sama dengan Yasin, langsung menyimpan rasa pada pemuda yang baru di pandangnya
itu. Dan itu merupakan kasempatan pertama bagi mereka menuju hubungan yang
lebih erat lagi.
Sebab takut cintanya tak berbalas,
Yasin hanya membayangkan peristiwa ketika ia berpandangan dengan Molek. Ia
belum berani berbuat apa-apa.
Setelah semua urusannya di Palembang
selesai, Yasin dan ibunya kembali kerumahnya, di kebun miliknya. belum berapa
lama sampai di rumahnya itu, datanglah saudaranya dari Gunung Megang untuk
mengabarkan bahwa tidak beberapa hari lagi akan di adakan pesta pernikahan
familinya itu. Muluk, ya, begituhlah orang-orang menyebut namanya.
Acara pernikahan tersebut sangat
meriah, di adakan selama lima hari lima malam. Hewan ternak seperti kerbau dan
sapi di sembeli untuk acara yang sakral itu. Yasin tidak begitu mengikuti acara
itu, padahal hal semacam itu merupakan kesempatan bagi muda-mudi untuk
berkenalan dan berbincang-bincang.
Melihat
tingkah anaknya yang tak bersemangat itu, ibu Yasin menenuinya dan menanyakan
apakah gerangan yang membuatnya demikian, dan Yasin pun menceritakan bahwa ia
tertarik pada gadis Palembang, bangsawan, hartawan.
Karna rasa yang tak dapat di pendam
lagi, sepulang dari acara pernikahan Yasin kembali ke kebunnya untu memanen
hasil kebunnya dn membawanya ke Pelembang. Yasin dengan barani menyirimi gadis
bangsawan itu surat. Pada mulanya ia ragu, bagaimana kalau-kalau yang menemukan
surat itu bukan gadis pujaan hatinya itu, sebab ia meletakkan surat itu pada
dinding tempat tepian mandi keluarga sang gadis. Namun usahanya tak sia-sia,
Tuhan meridhoi langkahnya. Surat yang diletakkannya itu ditemukan oleh gadis
pejaan hatinya itu. Tak tanggug-tanggung senang hati Molek, ia pun membalas
surat yang ditujukan padanya itu (dalam bahasa arab-melayu). Disinilah mulai terjalin hubungan di
antara mereka. Setiap Yasin ke Palembang, ia selalu berkirim surat dengan
Molek. Walau belum pernah bertatap muka secara langsung, mereka tetap menjalin
kasih dengan baik.
Ketika waktu untuk berangkat haji
orang tua Molek, mereka menginginkan putrinya itu menikah. Mengetahui hal
itu Molek mengirimi surat pada Yasin
agar segera meminangnya.
Mendapat
kebar tersebut Yasin dan ibunya memberi kabar pada sanak saudaranya, dan
meminta bantuan. Bantuanpun di dapatkan dengan sedikit cemoohan dari kerabat.
Rombongan peminangpun berangkat.
Alangkah sedihnya hati keluarga Yasin, pinangannya di tolak secara tidak halus.
Sedih benar hati Molek mangetahui hal itu, begitupu Yasin. Jurang besar
ternyata menghalangi hubungan mereka, status bangsawan.
Ingin
rasanya molek mengutuk dirinya, tapilah daya.
Setelah tak menerima pinangan
kekasih anaknya itu, pinangan dari keluarga arab Sayid Mostafa di terima oleh
orang tua Molek, tanpa menanyakan kesediaan anaknya. Sungguh tak kuasa Molek
menerima hal tersebut. Lama-kelamaan tau juga ibunya. Dan penyebab ketidakmuan
tersebut adalah putrinya itu telah menjalin hubungan dengan pemuda uluan yang
tak sepadan dengan keluarganya. Hal tersebut membuat kedua orang tuanya marah
amat besar. Akhirnya dengan amat terpaksa ia menerima.
Kebiasaan
berkirim surat antara mereka masih berlangsung. Sebab sekarang Yasin berada di Pelembang pula. Bahkan sebuah
stategi untuk melarikan diri telah disusun Molek yang di setujui Yasin. Namun
sayang stategi tersebut tak terlaksana. Akhirnya ia pun menikah dengan orang
arab yang tak di sukainya itu.
Yasin tetap menunggu dengan sabar,
sebab kekasih yang dicintainya itu, yang telah manjadi isteri orang, berjanji akan pergi kemanapun Yasin mau membawanya,
setelah orang tuanya pergi berangkat Haji. Orangtuanyapun telah menyerahkan
semua tanggung jawab terhadap tokonya itu pada menantunya Sayid. Dan ternyata
dia adalah tamak.
Cukup lama Molek menanggung
penderitaan. Ia pun mengirim surat pada Yasin dan meminta untuk menumuinya.
Yasin pun mengikuti. Pertemuan itu hanya sebentar tapi itu untuk yang terakhir
kalinya bagi mereka. Sebab keputusasaan Molek, tlah menutupi mata hatinya tuk
menerima nasib. Ia pun meninggal bunuh diri.
Kedewasaan dan ketabahan Yasin
tergambar dari sikapnya yang dengan berani turut serta membantu pemakaman Molek
kekasih yang di cintainya itu.
Setelah semua urusan tentang Molek
selasai, kembalilah Yasin kerumahnaya di hutan, di tempat ibunya tinggal.
Ternyata ibunya telah sakit-sakitan. Ia pun membawa ibunya ke Gunung Megang,
kampung halamaran
ibunya, sebab ia tau disana ada banyak
keluarganya
yang bisa membantu. Ibunya pun meninggal, dan di kuburkan disana. Dan ia pun
kembali ke rumahnya yang ditepi hutan.
Dalam karangan-karangannya,
STA selalu memancarkan cita yang sama, yaitu rasa cinta kepada bangsa dan
negaranya serta perjuangan untuk mengangkat dearajat bangsanya ke taraf yang
layak dalam pergaulan umum. Seperti pada karya-karyanya yang lain, yaitu tak
putus dirundung malang, anak perawan di sarang penyamun, dan layar terkembang.
Karya
sastra ini sangat menarik, ketika STA menggambarkan suasana pada masa dahulu
yang mungkin tak semua orang tau. Dengan sifat orang zaman dahulu yang tak
berani mengungkapkan suatu hal secara langsung, hal tersebut sangat mempunyai
point tersendiri bagi saya.
Sedikit
hal yang kurang menarik dari karya ini adalah ketika beberapa bagian pada
naskah yang diulang, sehingga membuatnya sedikit membosankan.
v Identitas
(karya sastra kedua)
Nama pengarang : Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (HAMKA)
Judul karya : Dibawah Lindungan Ka’bah
Penerbit : Bulan Bintang
Tempat terbit : Jakarta
Jumlah BAB : XIII BAB
Jumlah halaman : 74 halaman
v Sinopsis
Karya ini mengisahkan kisah seorang anak muda yang
bernama Hamid, yang dikisahkan oleh penulis. Kisah ini berlatar di kota Padang.
Ia adalah seorang yatim ketika berusia empat tahun. Ketika masa sekolah telah
sampai padanya, ia tak kungjung bisa bersekolah karena keadaan ibunya yang tak
mampu. Untunglah seorang hartawan yang dermawan mau membantunya, ialah Haji
Ja’far. Hartawan itu menyekolahkan Hamid bersama dengan puterinya yang bernama
Zainab, yang kebetulan usia mereka tak jauh beda. Hubungan Hamid dan Zainab
sangat baik dekat, sebab mereka selalu pergi kemana-mana bersama.
Pendidikan Hamid berjalan sangat baik. Namun ketika Haji
Ja’far meninggal semuanya berubah. Pendidikan Hamid tak lagi berlanjut.
Tak berapa lama Haji Ja’far meninggal, ibu Hamid pun
meninggal karena panyakit dada (sesak nafas). Sebelum ibunya meninggal, ibu
Hamid sempat berpesan agar Hamid menghilangkan rasa cintanya pada Zainab. Saat
itulah Hamid mulai jarang berkungjung kerumah Zainab. Ia mulai menutup diri,
karna ia berpikir apa yang dikatakan ibunya itu ada benarnya, sebab mereka
berasal dari keluarga yang berderajat berbeda. Akhirnya Hamid meninggalkan kota
Padang tanpa memberi tahu Zainab dan ibunya. Ia berangkat menuju Medan, dari
Medan ini ia menirim surat untuk Zainab. Setelah itu ia berangkat ke Singapura,
mengembara ke Bangkok, berlayar ke Hindustan, Karachi, Basrah, Irak, Sahara
Nejd, akhirnya sampai ke Tanah Suci.
Sangat beruntung, ketika di Tanah Suci Hamid dapat
bertemu dengan Saleh sahabtnya ketika sekolah, yang telah menikiah dengan
Rosni, sahabat Zainab. Saleh menceritakan bahwa Zainab sesungguhnya mencintai
Hamid, yang ia ketahui dari isterinya Rosni.
Setelah menceritakan hal itu, Saleh mengirim surat untuk
isterinya dan memceritakan bahwa ia bertemu Hamid. Akhirnya tak berapa lama
datanglah surat balasan dari Rosni beserta surat dari Zainab unatuk Hamid.
Dalam surat Zainab tersebut, ia mengatakan bahwa ia sesungguhnya mencintai
Hamid. Sejak itu timbullah kembali semangat pada diri Hamid yang dulu sempat
hilang. Namun tak lama surat Rosni dan Zainab datang, datanglah surat kawat
dari Rosni yang mengatakan bahwa Zainab meninggal sebab setelah Hamid pergi
tanpa pamit, Zainab mulai sakit-sakitan. Hal tersebut terpaksa diberitahukan
pada Hamid sebab tak mungkin disembunyikan, karna hal itu berkaitan dengan
dirinya.
Akhirnya setelah mengetahui hal itu, Hamid pun meninggal
dunia, setelah sebelumnya ia sempat menunaikan ibadah tawaf (salah satu rukun
ibadah Haji).
Dalam kisah ini Hamka melukiskan penolakan terhadap
adanya perbedaan dalam masyarakat berdasarkan perbedaan keturunan, pengkat, dan
sebagainya. Ia menggambarka bahwa perbedaanlah yang menyebabkan kesedihan,
kecelakaan, keonaran, dan kemalangan itu terjadi.
Kisah ini cukup menarik, sebab pengarang menyuguhkan
ketegaran seorang tokoh Hamid yang harus kehilangan ibuya disaat ia butuhkan
nasehat dan bimbingan. Dan juga sifat yang tak mau malawan adat untuk mengikuti
kehendak pribadi.
Penilaian
terhadap kedua karya sastra
1.
Kedua
karya sastra tersebut sama mengisahkan hubungan yang tak diketahui banyak
orang, sebab perbedaan derajat yang terjadi pada zamannya.
2.
Karya
sastra STA menyuguhkan kisah cinta yang terjalin secara sembunyi, dan karya ssatra
HAMKA menyuguhkan kisah cinta yang tak sempat terjalin, sebab mereka saling tak
mengungkapkannya.
3.
Karya
HAMKA lebih menyenangkan membacanya dibandingkan karya STA.
4.
Bahasa
HAMKA lebih menarik dari pada STA sebab tak ada pengulangan dalam cerita.
5.
Karya
HAMKA mengisahkan tokoh sejak kecil hingga dewasa dan meninggal, sedangkan karya STA mengisahkan
tokoh ketika dewasa saja tak ada masa kecilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar