Selasa, 24 September 2013

Makalah KARYA-KARYA ANGKATAN “66



KARYA-KARYA ANGKATAN “66

  
 
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Terimah kasih dosen pembimbing, ibu Mila Kurnia Sari,S.S,M.Pd.yang telah memberikan kami kepercayaan untuk menyelesaikan makalah tentang  “ Karya angkatan 66 ”. Semoga makalah yang kami buat dapat memenuhi tugas yang diberikan kepada kami.
Sebagai manusia yang masi banyak kekurangan terutama ilmu pengetahuan dan pengalaman, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun agar ke depannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik. Demikianlah makalah ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.






                                                                                                                        Padang, 16 mei 2013
                                                           

                                                                                                                                    Penulis




BAB II
PEMBAHASAN
A.                Latar Belakang Munculnya Angkatan 66
                        Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun 50-an terjadi polemik yang seru antara orang-orang yang membela hak hidup angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan ”Angkatan 45 sudah mati” yang berpangkal pada suatu sikap politik.
            Para seniman muda tidak mau mengelompokkan diri dalam kelompok seniman untuk menyamakan persepsi. Semangat yang dimiliki seniman Angkatan 45 tidak mereka warisi dan mereka tidak menghayati revolusi fisik dengan baik. Seniman muda ini lebih memfokuskan diri pada menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
            Periode 50 bukan saja sebagai pengekor Angkatan 45, tetapi sudah merupakan penyelamat setelah melalui masa-masa kegoncangan. Ciri-ciri periode ini antara lain :
1. Pusat kegiatan sastra telah meluas keseluruh pelosok Indonesia, tidak hanya berpusat di
    Jakarta atau Yogyakarta saja.
2. Kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra Nasional
    Indonesia.
3. Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada perasaan kepada perasaan dan
    ukuran Nasional.
            Pada tahun 1959, merupakan tahun yang membawa perubahan dalam dunia kesusastraan sebagai imbas dunia politik. Tujuan sastra pada mulanya mengangkat harkat dan martabat manusia dalam kehidupan yang memiliki nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan. Pada tahun ini sastrawan ingin mengembangkan karya sastranya, dilain pihak tekanan-tekanan partai politik yang mulai mengendalikan pemuda Indonesia sehingga muncul PKI, LEKRA, LKN, LESBUMI, HSBI, LESBI dan lain sebagainya.
Akhirnya Manikebu menjadi konsep sikap dan kepentingan dan kepentingan mereka sebagai angkatan dalam kesustraan yang kemudian dikenal dengan ankatan 66. Akibat fitnah PKI, Manikebu dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Setelah bangkitnya Orde Baru, tahun 1966, maka, Manikebu sebagai konsepsi Angkatan Kesusastraan terbaru, dijadikan landasan ideal Angkatan 1966. Isi Manikebu antara lain :
1.      Kami para seniman cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah manifest kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita politik kebudayaan kami.
2.      Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi kehidupan manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan lain. Setiap sektor perjuangan bersama- sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3.      Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa indonesia ditengah-tengah masyarakat dunia.
4.      Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Tiga dasar konsepsi angkatan 66 itu adalah :
1.       Manifes kebudayaan itu sendiri.
2.       Teks penjelasan Manifes Kebudayaan.
3.       Sejarah lahir kebudayaan.
B. Perbedaan Angkatan 45 dengan Angkatan 66
       no angkatan 45 dan no angkatan
1. Lahir karena politik, tidak memperhitungkan politik Lahir karena politik, memperhitungkan
    politik
2. Karyanya bernadakan perjuangan Karyanya bernadakan keadilan dunia
3. Mempunyai sikap sebagai warisan Menegaskan Pancasila peperangan
4. Mempunyai sikap sebagai akibat falsafah kebudayaan Menegaskan Pancasila sebagai falsafah
    kebudayaan
5. Berorientasi kepada pengarang dunia Lahir akibat penindasan HAM
6. Karyanya bersifat ekpresi puisi dan realis skeptis pada prosa Karyanya bersifat realis,
    aturalisme, dan ekstensionalisme
7. Merupakan nama kumpulan saja sastrawan melulu Merupakan wadah bukan sastrawan, tetapi
    juga budayawan, seniman, dan pelukis.
                            

C. Penyair Angkatan 66
            1. Taufik Ismail
Lahir di Bukit Tinggi 1937 tetapi dibesarkan di Pekalongan. Karya-karyanya berupa sajak,  cerpen, dan essei mulai dikenalkannya pada tahun 1954. Namun baru mencut tahun1966. Karyanya yaitu sajak Jaket Berlumuran Darah, Harmoni, Jalan Segara. Puisinya Karanganya yaitu Karangan Bunga, Salemba, dan Seorang Tukang Rambutan Kepada Istrinya.
2. Goenawan Mohamad
            Lahir di Batang 1942, pernah menjadi wartawan harian KAMI, pemimpin redaksi
  majalah Ekspress, redaksi majalah Horison, Peminmpin majalah tempo dan Zaman. Karyanya
  antara lain Interlude (1973), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972),
  dan lain-lain
3. Mansur Samin
            Lahir di Batang Toru Sumatera Utara, karyanya antara lain kumpulan puisi tanah air,    Kebinasaan Negeri Senja (drama 1968), Baladanya yang terkenal ialah Sibagading Si Rajagoda, dan Raja Singamangaraja.
4. Hartoyo Andangdjaja
            Lahir disolo 1930, kumpulan sajaknya berjudul simponi Puisi (1954) dan Buku Puisi (1973). Ia juga menterjemah buku antara lain Tukang Kebun (1976), Kubur Terhormat (1977), dan Novel Rahasia Hati 1978).
5. Piek Ardijanto Suprijadi
         Lahir di Mangetan 1929, karyanya antara lain Burung-Burung di Ladang, Paman-paman Tani Utun.
6. Abdul Hadi W.M
        Lahir di Sumenep 1949, karya-karyanya antara lain Riwayat, Terlambat di Ujung Jalan, Laut Belum Pasang, Tergantung Pada Angin.
7. W.S Rendra
         Rendra termasuk penyair yang kritis. Karena berbagai macam sosial, segi pendidikan, ekonomi, pemerintahan selalu menjadi sorotan dalam karyanya. Karyanya antara lain Balada Sumirah, Balada terbunuhnya Atmo Karpo, Aminah.
Lahirnya angkatan 66 disebabkan :
          1. Karena politik dan memperhitungkan politik
          2. Karena bernadakan keadilan
          3. Menegaskan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan
          4. Lahirnya sebagai akibat penindasan hak azazi manusia
          5. Berorientasi kedalam negeri ( Pengarang nasional menggali kebudayaan daerah).
          6. Karya bersifat naturalis, realitas, dan ekstensialitas
          7. Merupakan wadah untuk para sastrawan , ahli budayawan dan pelukis.

         Pada periode 60-an muncul adanya angkatan, yaitu angkatan ’66. Lahirnya angkatan ’66 ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan ’66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.
            Munculnya nama angkatan ’66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ’66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penanaman angkatan ’66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ’66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU).
1.        Karakteristik
o Muncul adanya angkatan, yaitu angkatan ‘66
o Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga.
   Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut
   karena adanya norma politik, norma ekonomi.
o Adanya sastra protes, contoh: kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail
o Arti penting sajak angkatan ’66 pertama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati
   khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.
2. Para Pengarang dan Hasil Karyanya
Seperti telah diuraikan di atas, periode 60-an ini telah mulai bermunculan para pengarang baru, namun para pengarang lama pun masih tetap aktif berkarya. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan di bawah ini:
1. Taufik Ismail, hasil karyanya: Tirani, benteng, dan Buku Tamu Museum Perjuangan.
2. Bur Rasianto, hasil karyanya: Mereka Telah Bangkit, Bumi yang Berpeluh, Mereka Akan
    Bangkit, Sang Ayah, dan Manusia Tanah Air.
3. Mansur Samin, hasil karyanya: Perlawanan, Kebinasaan Negri Senja, dan Tanah Air.
4. Arifin C. Noer, hasil karyanya: Lampu Neon, Puisi-puisi yang Kehilangan puisi, dan Kapai
   kapai.
5. Satyagraha Hoerip, hasil karyanya: Rahasia Kehidupan Manusia dan Ontologi Persoalan
    persoalan Sastra.
6. Sapardi Djoko Damono, hasil karyanya: Dukamu Abadi, Matahari PAgi di Tanah Air, Doa di
   Tengah-tengah Masa, dan Sajak Orang Gila.
7. H.B. Jassin, hasil karyanya: Angkatan ’66, Prosa, dan Puisi.
8. Bastari Asnin, hasil karyanya: Di Tengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.
9. Trinojuwono, hasil karyanya: Di Medan Perang, Kisah-kisah Revolusi, Pagar Kawat Berduri,
    Bulan Madu, dan Biarkan Cahaya Matahari Membersihkanku Dulu.
10. Iwan Simatupang, hasil karyanya: Petang di Taman, Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah.
11. Toha Mohtar, hasil karyanya: Daerah Tak Bertuan, Bukan Karena Kau, dan Kabut Rendah.
12. Subagio Sastrowardoyo, hasil karyanya: Kejantanan di Sumbring.
13. Motinggo Bosje, hasil karyanya: Badai Sampai Sore, Nyonya dan Nyonya, Malam Pengantin
     di Bukit Kera, Keberanian Manusia, Nasihat untuk Anakku, Matahari dalam Kelam, Tidak
     Menyerah, Sejuta Matahari, 1949, Buang Tonjam, Dosa Kita Semua, Tiada Belas Kasihan,
     Batu Setampok, Titisan Dosa di Atasnya, Manusia Sejati, Perempuan itu Bernama Berabah,
     dan Dia Musuh Keluarga.
14. Ras Siregar, hasil karyanya: Harmoni dan Terima Kasih.
15. Mochtar Lubis, hasil karyanya: Tanah Gersang.
16. Ajip Rosidi, hasil karyanya: Surat Cinta Enday Rosidin, Pertemuan Kembali, Purba Sari Ayu
    Wangi, Mundinglaya di Kusumah, Ciung Wanara, Sang Kuriang Kesiangan, Jalan ke Surga,
      Canda Kirana, Roro Mendut, dan Masyitoh.
17. Achmad Tohari, hasil karyanya: Ronggeng Dukuh Paruk.
18. Abdul Wahid Situmeang, hasil karyanya: Pembebasan.
19. Hartojo Andangjaya, hasil karyanya: Buat Saudara Kandung, Perarahan Jenasah, Riwayat,
      Pantun Tidak Bernama, Pantun di Jalan Panjang, Rakyat, dan Perempuan-perempuan
      Perkasa.
20. Goenawan Mohamad, hasil karyanya: Lagu Pekerja Malam, Riwayat, Pertemuan, Hari
      Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang di Beranda, dan Ini Angin tak Kedengaran Lagi.
21. M. Saribi AFN, hasil karyanya: Manifestasi dan Gema Lembah Cahaya.
22. Rachmad Djoko Pradopo, hasil karyanya: Matahari di Tanah Air.
23. Slamet Kirnanto, hasil karyanya: Kidung Putih dan Puisi Alit.
24. Kamal Firdaus T.F, hasil karyanya: Di Bawah Fajar Menyingsing.
25. Saini KM, Nyanyian Tanah Air.
26. A. Bastari Asnin, hasil karyanya: Di tengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.
27. Yusach Ananda, hasil karyanya: Kampungku yang Sunyi.
28. Djamil Suherman, hasil karyanya: Umi Kalsum dan Perjalanan ke Akhirat.
29. Moh. Diponegoro, hasil karyanya: Iblis dan Surat pada Gubernur.
30. W.S. Rendra, hasil karyanya: Orang-orang di Tikungan Jalan, Ballada Orang-orang Tercinta,
     Musyawarat Kesusastraan Jogya, 1955, Pembangunan, 1957, 4 Kumpulan Sajak, 1961, Ia
     Sudah Bertualang, Nusantara, dan 1963.
3. Para pengarang wanita angkatan ’66 antara lain:
1. Isma Sawitri, hasil karyanya: Terima Kasih, Tiga Serangkai, dan Pantai Utara.
2. Titi Said, hasil karyanya: Perjuangan dan Hati Perempuan.
3. titis Basimo, hasil karyanya: Rumah Dara dan Laki-Laki dan Cinta
4. Enny Sumargo, hasil karyanya: Sekeping Hati Perempuan.
5. S. Tjahyaningsih, hasil karyanya: Dua Kerinduan.
6. Susy Aminah, hasil karyanya: Seraut Wajahku.
4. Peristiwa Sastra dan Budaya yang Terjadi pada Periode ‘60
1. Polemik Tentang Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Dalam sebuah artikel harian bintang timur, 7 September 1962, pengarang Abdullah SP, mengucapkan bahwa Hamka sangat mirip dengan pujangga Mesir Al-Manfaluthi, gaya bahasanya, jalan pikirannya, dan perasaannya. Tenggelamnya kapal van der Wijck karya Hamka sangat mirip dengan Magdaline karya Manfaluthi.Tetapi Adnan H menyatakan bahwa Abdullah SP telah melakukan tuduhan sembrono. Sebagai bukti kecerobohan Abdullah SP, Adnan H memberikan bukti kalimat, seperti berikut:
a. Kalimat Manfaluthi : Apakah artinya harta ini tempatku setelah kau hilang dari  padaku,Stevens?
b. Kalimat Hamka : Ke mana lagi langit bernaung, setelah hilang dari padaku Zainuddin.Jassin juga membuat kesimpulan bahwa ‘pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi’. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah pikiran. Tapi, Hamka menimba dari sumber pengalaman dan inspirasinya sendiri.
2. Heboh Sastra 1968 Tentang Langit Makin Mendung
Sesuai dengan teori otonomi seni yang di dalamnya terdapat paham berbunyi ‘seni untuk seni, seni tidak perlu mengabdi kepada apapun di luar dirinya dan seni tidak boleh dinilai dengan ukuran-ukuran baku yang bersifat estetik seperti ukuran moral, agama, dan sebagainya’. Maka H.B Jassin memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusuma dalam Majalahnya.
Hal ini banyak menuai protes dan hujatan dari semua umat Islam dan ulama pada waktu itu, karena cerpen Langit Makin Mendung dinilai telah menghina Tuhan dan nabi Muhammad SAW, sehingga pada tanggal 12 Oktober 1968 Kejaksaan Tinggi Medan melarang cerpen tersebut diterbitkan. Namun penghentian itu menimbulkan kritik dari para seniman yang ada di Medan dan Jakarta.
3. Heboh Hadiah Sastra
Hadiah yang diberikan oleh H.B. Jassin kepada pengarang terbaik dalam majalahnya, Horison. Hal ini pertama kalinya ada dalam sejarah sastra indonesia, yang mana pengarang yang mendapat hadiah itu adalah Motinggo Busye.
4. Munculnya Sastra Majalah
Pada periode 60-an muncul adanya sastra majalah atau majalah yang memuat karya-karya sastra seperti, Horison dan Basis. Ini terjadi karena majalah adalah media baca yang paling diminati saat itu, sehingga para pengarang mencoba menarik simpari masyarakat terhadap karya sastra melalui majalah.
Angkatan 66
Angkatan 66 meliputi kurun waktu tahun 1963 hingga tahun 1970-an.Pelopor Angkatan 66 dalam bidang puisi adalah Taufiq Ismail yang dikenal dengan puisi-puisi demonstrasi. Jika Angkatan 45 mempunyai konsepsi Surat Kepercayaan Gelanggang  maka Angkatan 66 mempunyai konsepsi Manifest Kebudayaan. Jika angkatan 45 berbicara lantang tentang martabat manusia Indonesia yang sama denganmanusia lain di dunia
maka Angkatan 66 berbicara tentang tegaknya kembali Pancasila dan UUD 1945.
B. Sastra Angkatan ‘66
1.      Latar Belakang Munculnya Sastra Angkatan ‘66
Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror  politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Munculnya nama angkatan ‘66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah Horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ‘66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penamaan angkatan ‘66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ‘66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.
 Pemberian atau penamaan “Angkatan 66” pertama kali dikemukakan oleh H.B.Jassin dalam artikelnya berjudul Angkatan ’66  Bangkitnya Satu Generasi, dimuat dalam majalah Horison, Agustus 1966; kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya berjudul Angkatan ’66. Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat, antara lain adanya taman Ismail Marzuki, didirikannya penerbit Pustaka Jaya, adanya maecenas yang stabil. Maecenas adalah sebagai pelindung seni dan kebudayaan dan pemerintah DKI menyelenggarakan lomba menulis roman, naskah drama yang bisa merangsang pengarang sehingga muncul kegiatan seni budaya.

2.      Ciri-Ciri Sastra Angkatan ‘66
            Karya yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. Contohnya: warna lokal yang terdapat pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad Thohari.  Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik dan norma ekonomi. Menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran,  bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dan PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah kumpulan sajak “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan  yang sempat berseteru dengan LEKRA. Sastra tersebut merupakan sastra protes. Arti penting sajak angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.

Angkatan 66

Nama "Angkatan 66" pertama kali dikemukakan oleh H.B. Jassin dalam artikelnya berjudul Angkatan '66; bangkitnya satu generasi, dimuat dalam majalah Horison, Agustus 1966; kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya berjudul Angkatan '66: Prosa dan Puisi terbitan Gunung Agung, 1968. Nama ini dipakai sebagai kelanjutan Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Menurut H.B. Jassin ciri-ciri karya sastranya ialah: mempunyai konsepsi Pancasila, menggemakan protes sosial dan politik, dan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta kesadaran akan moral dan agama. Para pengarang yang termasuk "Angkatan '66", katanya ialah mereka yang tatkala tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan baru masuk sekolah rakyat, jadi mereka yang tahun 1966 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka inilah yang telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Tjerita, Prosa, Sastra, Basis dan lain-lain.   Dikemukakan juga, bahwa yang termasuk pengarang Angkatan '66 bukan hanya mereka yang baru menulis sajak-sajak perlawanan pada permulaan tahun 1966, tetapi juga yang telah tampil beberapa tahun sebelumnya dengan suatu kesadaran. Kurang lebih ada 30 orang pengarang yang tergolong angkatan ini, antara lain A. Bastari Asnin, NH Dini, A.A. Navis, Bur Rasuanto, Ajip Rosidi, Gerson Poyk, Trisnoyuwsono, Satyagraha Hurip, Mansur Samin, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Slamet Sukirnanto, Umar Kayam, dan lain-lainnya. Beberapa kumpulan puisi dan cerpen yang dinilai dan dianggap sebagai tonggak munculnya Angkatan '66 ialah: Tirani dan Benteng (kumpulan sajak karya Taufiq Ismail), Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto, dan Perlawanan karya Mansur Samin.

















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
 Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun 50-an terjadi polemik yang seru antara orang-orang yang membela hak hidup angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan ”Angkatan 45 sudah mati” yang berpangkal pada suatu sikap politik.
            Para seniman muda tidak mau mengelompokkan diri dalam kelompok seniman untuk menyamakan persepsi. Semangat yang dimiliki seniman Angkatan 45 tidak mereka warisi dan mereka tidak menghayati revolusi fisik dengan baik. Seniman muda ini lebih memfokuskan diri pada menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror  politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya.
 Nama "Angkatan 66" pertama kali dikemukakan oleh H.B. Jassin dalam artikelnya berjudul Angkatan '66; bangkitnya satu generasi, dimuat dalam majalah Horison, Agustus 1966; kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya berjudul Angkatan '66: Prosa dan Puisi terbitan Gunung Agung, 1968. Nama ini dipakai sebagai kelanjutan Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Menurut H.B. Jassin ciri-ciri karya sastranya ialah: mempunyai konsepsi Pancasila, menggemakan protes sosial dan politik, dan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta kesadaran akan moral dan agama.
 Kurang lebih ada 30 orang pengarang yang tergolong angkatan ini, antara lain A. Bastari Asnin, NH Dini, A.A. Navis, Bur Rasuanto, Ajip Rosidi, Gerson Poyk, Trisnoyuwsono, Satyagraha Hurip, Mansur Samin, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Slamet Sukirnanto, Umar Kayam, dan lain-lainnya. Beberapa kumpulan puisi dan cerpen yang dinilai dan dianggap sebagai tonggak munculnya Angkatan '66 ialah: Tirani dan Benteng (kumpulan sajak karya Taufiq Ismail), Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto, dan Perlawanan karya Mansur Samin

DAFTAR PUSTAKA
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar sejarah Indonesia. Bandung : Binacipta
Sumber : Syaifuddin, Amirullah. 2012. http://amirulloh-syaifuddin.blogspot.com/2012/10/sastra-
           indonesia-angkatan-66.html. Tanggal unduh : 13 Mei 2013.
 Sumber : http://id.scribd.com/doc/38864175/ANGKATAN-66      
















BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

            Nama "Angkatan 66" pertama kali dikemukakan oleh H.B. Jassin dalam artikelnya berjudul Angkatan '66; bangkitnya satu generasi, dimuat dalam majalah Horison, Agustus 1966; kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya berjudul Angkatan '66: Prosa dan Puisi terbitan Gunung Agung, 1968. Nama ini dipakai sebagai kelanjutan Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Menurut H.B. Jassin ciri-ciri karya sastranya ialah: mempunyai konsepsi Pancasila, menggemakan protes sosial dan politik, dan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta kesadaran akan moral dan agama.
            Angkatan 66 meliputi kurun waktu tahun 1963 hingga tahun 1970-an.Pelopor Angkatan 66 dalam bidang puisi adalah Taufiq Ismail yang dikenal dengan puisi-puisi demonstrasi. Jika Angkatan 45 mempunyai konsepsi Surat Kepercayaan Gelanggang  maka Angkatan 66 mempunyai konsepsi Manifest Kebudayaan.

B.       Rumusan Masalah
1.    Menjelaskan Latar Belakang Munculnya Angkatan 66
2.    Menjelaskan Perbedaan Angkatan 45 dengan Angkatan 66
3.    Menjelaskan satra angkatan 66





Tidak ada komentar:

Posting Komentar